Sabtu, 27 April 2013

FUNGSI BAHASA



.  Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia

Istilah kedudukan dan fungsi tentunya sering kita dengar, bahkan pernah kita pakai. Misalnya dalam kalimat “Bagaimana kedudukan dia sekarang?”,

“Apa fungsi baut yang Saudara pasang pada mesin ini ?”, dan sebagainya. Kalau kita pernah memakai kedua istilah it tentnya secara tersirat kita sudah mengerti maknanya. Hal ini terbukti bahwa kita tidak pernah salah pakai menggunakan kedua istilah itu. Kalau demikian halnya, apa sebenarnya pengertian kedudukan dan fungsi bahasa? Samakah dengan pengertian yang pernah kita pakai?
Kita tahu bahwa bahasa sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara terlisan maupun tertulis. Ini adalah fungsi dasar bahasa yang tidak dihubungkan dengan status dan nilai-nilai sosial. Setelah dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari, yang didalamnya selalu ada nilai-nilai dan status, bahasa tidak dapat ditinggalkan. Ia selalu mengikuti kehidupan manusia sehari-hari, baik sebagai manusia anggota suku maupun anggota bangsa. Karena kondisi dan pentingnya bahasa itulah, maka diberi ’label’ secara eksplisit oleh pemakainya yang berupa kedudukan dan fungsi tertentu.
Kedudukan dan fungsi bahasa yang dipakai oleh pemakainya (baca: masyarakat bahasa) perlu dirumuskan secara eksplisit, sebab kejelasan ‘label’ yang diberikan akan mempengaruhi masa depan bahasa yang bersangkutan. Pemakainya akan menyikapi secara jelas terhadapnya. Pemakainya akan memperlakukan sesuai dengan ‘label’ yang dikenakan padanya.
Di pihak lain, bagi masyarakat yang dwi bahasa (dwilingua), akan dapat ‘memilah-milah’ sikap dan pemakaian kedua atau lebih bahasa yang digunakannya. Mereka tidak akan memakai secara sembarangan. Mereka bias mengetahui kapan dan dalam situasi apa bahasa yang satu dipakai, dan kapan dan dalam situasi apa pula bahasa yang lainnya dipakai. Dengan demikian perkembangan bahasa (-bahasa) itu akan menjadi terarah. Pemakainya akan berusaha mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa yang telah disepakati dengan, antara lain, menyeleksi unsur-unsur bahasa lain yang ‘masuk’ kedalamnya. Unsur-unsur yang dianggap menguntungkannya akan diterima, sedangkan unsur-unsur yang dianggap merugikannya akan ditolak.
Sehubungan dengan itulah maka perlu adanya aturan untuk menentukan kapan, misalnya, suatu unsur lain yang mempengaruhinya layak diterima, dan kapan seharusnya ditolak. Semuanya itu dituangkan dalam bentuk kebijaksanaan pemerintah yang bersangkutan. Di negara kita itu disebut Politik Bahasa Nasional, yaitu kebijaksanaan nasional yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan-ketentuan yang dapat dipakai sebagai dasar bagi pemecahan keseluruhan masalah bahasa.
                                             
B.     Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional
Jangan sekali-sekali disangka bahwa berhasilnya bangsa Indonesia mempunyai bahasa Indonesia ini bagaikan anak kecil yang menemukan kelereng di tengah jalan. Kehadiran bahasa Indonesia mengikuti perjalanan sejarah yang panjang. (untuk meyakinkan pernyataan ini, silakan dipahami sekali lagi Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia). Perjalanan itu dimulai sebelum kolonial masuk kebumi nusantara, dengan bukti-bukti prasasti yang ada, misalnya yang didapatkan di Bukit Talang Tuwo dan Karang Brahi serta batu nisan di Aceh, sampai dengan tercetusnya inspirasi persatuan pemuda-pemuda Indonesia pada tanggal 28 oktober 1928 yang konsep aslinya berbunyi:
Kami poetera dan poeteri Indonesia
Mengakoe bertoempah darah satoe,
Tanah Air Indonesia
Kami poetera dan poeteri Indonesia
Mengakoe berbangsa satoe,
Bangsa Indonesia.
Kami poetera dan poeteri Indonesia
Mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia.
Dari ketiga butir diatas yang paling menjadi perhatian pengamat (baca: sosiolog) adalah butir ketiga. Butir ketiga itulah yang dianggap sesuatu yang luar biasa. Dikatakan demikian, sebab negara-negara lain, khususnya negara tetangga kita, mencoba untuk membuat hal yang sama selalu mengalami kegagalan yang dibarengi dengan bentrokan sana-sini. Oleh pemuda kita, kejadian itu dilakukan tanpa hambatan sedikit pun, sebab semuanya telah mempunyai kebulatan tekad yang sama. Kita patut bersyukur dan angkat topi kepada mereka.
Kita tahu bahwa saat itu, sebelum tercetusnya Sumpah Pemuda, bahasa melayu dipakai sebagai lingua franca di seluruh kawasan tanah air kita. Hal itu terjadi sudah berabad-abad sebelumnya. Dengan adanya kondisi yang semacam itu, masyarakat kita sama sekali tidak merasa bahwa bahasa daerahnya disaingi. Di balik itu, mereka telah menyadari bahwa bahasa daerahnya tidak mungkin dapat dipakai sebagai alat perhubungan antar suku, sebab yang diajak komunikasi juga mempunyai bahasa daerah tersendiri.
Adanya  bahasa Melayu yang dipakai sebagai lingua franca ini pun tidak akan mengurangi fungsi bahasa daerah. Bahasa daerah tetap dipakai dalam situasi kedaerahan dan tetap berkembang. Kesadaran masyarakat yang semacam itulah, khususnya pemuda-pemudanya yang mendukung lancarnya inspirasi sakti di atas.
Apakah ada bedanya bahasa Melayu pada tanggal 27 Oktober 1928 dan bahasa Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928? Perbedaan ujud, baik struktur, sistem, maupun kosakata jelas tidak ada. Jadi, kerangkanya sama. Yang berbeda adalah semangat dan jiwa barunya. Sebelum Sumpah Pemuda, semangat dan jiwa bahasa Melayu masih bersifat kedaerahan atau jiwa Melayu. Akan tetapi, setelah Sumpah Pemuda semangat dan jiwa bahasa Melayu sudah bersifat nasional atau jiwa Indonesia. Pada saat itulah, bahasa Melayu yang berjiwa semangat baru diganti dengan nama bahasa Indonesia.

“Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada 25-28 Pebruari 1975 antara lain menegaskan bahwa dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia befungsi sebagai:
1.    lambang kebanggaan nasional,
2.    lambang identitas nasional,
3.    alat pemersatu berbagai-bagai masyarakat yang berbeda-beda latar belakang social budaya dan bahasanya, dan
4.    alat perhubungan antarbudaya antardaerah.
     Sebagai lambang kebanggaan nasional, bahasa Indonesia ‘memancarkan’ nilai-nilai sosial budaya luhur bangsa Indonesia. Dengan keluhuran nilai yang dicerminkan bangsa Indonesia, kita harus bangga dengannya; kita harus menjunjungnya; dan kita harus mempertahankannya. Sebagai realisasi kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia, kita harus memakainya tanpa ada rasa rendah diri, malu, dan acuh tak acuh. Kita harus bangga memakainya dengan memelihara dan mengembangkannya.
     Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia merupakan ‘lambang’ bangsa Indonesia. Ini berarti, dengan bahasa Indonesia akan dapat diketahui siapa kita, yaitu sifat, perangai, dan watak kita sebagai bangsa Indonesia. Karena fungsinya yang demikian itu, maka kita harus menjaganya jangan sampai ciri kepribadian kita tidak tercermin di dalamnya. Jangan sampai bahasa Indonesia tidak menunjukkan gambaran bangsa Indonesia yang sebenarnya.
     Dengan fungsi yang ketiga memungkinkan masyarakat Indonesia yang beragam latar belakang sosial budaya dan berbeda-beda bahasanya dapat menyatu dan bersatu dalam kebangsaan, cita-cita, dan rasa nasib yang sama. Dengan bahasa Indonesia, bangsa Indonesia merasa aman dan serasi hidupnya. Sebab mereka tidak merasa bersaing dan tidak merasa lagi ‘dijajah’ oleh masyarakat suku lain. Apalagi dengan adanya kenyataan bahwa dengan menggunakan bahasa Indonesia, identitas suku dan nilai-nilai sosial budaya daerah masih tercermin dalam bahasa daerah masing-masing.
   Kedudukan dan fungsi bahasa daerah masih tegar dan tidak bergoyah sedikit pun. Bahkan, bahasa daerah diharapkan dapat memperkaya khazanah bahasa Indonesia.
   Dengan fungsi keempat, bahasa Indonesia sering kita rasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan saja apabila kita ingin berkomunikasi dengan seseorang yang berasal dari suku lain yang berlatar belakang bahasa berbeda, mungkinkah kita dapat bertukar pikiran dan saling memberikan informasi? Bagaimana cara kita seandainya kita tersesat jalan di daerah yang masyarakatnya tidak mengenal bahasa Indonesia? Bahasa Indonesialah yang dapat menanggulangi semuanya itu. Dengan bahasa Indonesia kita dapat saling berhubungan untuk segala aspek kehidupan.
   Bagi pemerintah, segala kebijakan dan strategi yang berhubungan dengan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan (disingkat: ipoleksosbudhankam) mudah diinformasikan kepada warganya. Akhirnya, apabila arus informasi antarkita meningkat berarti akan mempercepat peningkatan pengetahuan kita. Apabila pengetahuan kita meningkat berarti tujuan pembangunan akan cepat tercapai.

C. Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia sebagai Bahasa        Negara/Resmi
Sebagaimana kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi pun mengalami perjalanan sejarah yang panjang. Hal ini terbukti pada uraian berikut.
Secara resmi adanya bahasa Indonesia dimulai sejak Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ini tidak berarti sebelumnya tidak ada. Ia merupakan sambungan yang tidak langsung dari bahasa Melayu. Dikatakan demikian, sebab pada waktu itu bahasa Melayu masih juga digunakan dalam lapangan atau ranah pemakaian yang berbeda. Bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi kedua oleh pemerintah jajahan Hindia Belanda, sedangkan bahasa Indonesia digunakan diluar situasi pemerintahan tersebut oleh pemerintah yang mendambakan persatuan Indonesia dan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia. Demikianlah, pada saat itu terjadi dualisme pemakaian bahasa yang sama tubuhnya, tetapi berbeda jiwanya: jiwa kolonial dan jiwa nasional.
Secara terperinci perbedaan lapangan atau ranah pemakaian antara kedua bahasa itu terlihat pada perbandingan berikut ini.

Bahasa Melayu:                         Bahasa Indonesia:
1.      Bahasa resmi kedua disamping                        Bahasa yang digunakan dalam
     bahasa Belanda, terutama untuk         gerakan kebangsaan untuk men-
      tingkat yang dianggap rendah.              capai kemerdekaan Indonesia.
2.    Bahasa yang diajarkan disekolah-        Bahasa yang digunakan dalam
sekolah yang didirikan atau menurut      penerbitan-penerbitan yang ber-
sistem pemerintah Hindia belanda.         tujuan untuk mewujudkan cita-
3.    Penerbitan-penerbitan yang dikelola    cita perjuangan kemerdekaan
      oleh jawatan pemerintah Hindia             Indonesia baik berupa:
Belanda.                                                    1) bahasa pers,2) bahasa dalam
                                                          hasil sastra.
Kondisi  di atas berlangsung sampai tahun 1945.         Bersamaan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, diangkat pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu dinyatakan  dalam UUD 1945, Bab XV, Pasal 36. Pemilihan bahasa sebagai bahasa negara bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan. Salah timbang akan mengakibatkan tidak stabilnya suatu negara. Sebagai contoh konkret, negara tetangga kita Malaysia, Singapura, Filipina, dan India, masih tetap menggunakan bahasa inggris sebagai bahasa resmi di negaranya, walaupun sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadikan bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi.
Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai bahasa negara apabila:
1.   Bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar    penduduk negara itu,
2.   Secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh penyebarannya, dan
3.    Bahasa tersebut diterima oleh seluruh penduduk negara itu.

Bahasa-bahasa yang terdapat di Malaysia, Singapura, Filipina, dan India tidak mempunyai ketiga faktor diatas, terutama faktor yang ketiga. Masyarakat multilingual yang terdapat di negara itu saling ingin mencalonkan bahasa daerahnya sebagai bahasa negara. Mereka saling menolak untuk menerima bahasa daerah lain sebagai bahasa resmi kenegaraan. Tidak demikian halnya dengan negara Indonesia. Ketiga faktor diatas sudah dimiliki bangsa Indonesia sejak tahun 1928. Bahkan, tidak hanya itu. Sebelumnya bahasa Indonesia sudah menjalankan tugasnya sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Dengan demikian, hal yang dianggap berat bagi negara-negara lain, bagi kita tidak merupakan persoalan. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur kepada Tuhan atas anugrah besar ini.
Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Pebruari 1975 dikemukakan bahwa di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai
1.    bahasa resmi kenegaraan,
2.    bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
3.    bahasa resmi didalam perhubungan pada tingkat nasiobal untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan
4.    bahasa resmi didalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi modern.
         Keempat fungsi itu harus dilaksanakan, sebab minimal empat fungsi itulah memang sebagai ciri penanda bahwa suatu bahasa dapat dikatakan berkedudukan sebagai bahasa negara.
Pemakaian pertama yang membuktikan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan ialah digunakannya bahasa Indonesia dalam naskah proklamasi kemerdekaan RI 1945. Mulai saat dipakailah bahasa Indonesia dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun tulis.
Keputusan-keputusan, dokumen-dokumen, dan surat-surat resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah dan lembaga-lembaganya dituliskan didalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato atas nama pemerintah atau dalam rangka menunaikan tugas pemerintahan diucapkan dan dituliskan dalam bahasa Indonesia. Sehubungan dengan ini kita patut bangga terhadap presiden kita, Soeharto yang selalu menggunakan bahasa Indonesia dalam situasi apa dan kapan pun selama beliau mengatasnamakan kepala negara atau pemerintah. Bagaimana dengan kita?
Sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi. Hanya saja untuk kepraktisan, beberapa lembaga pendidkan rendah yang anak didiknya hanya menguasai bahasa ibunya (bahasa daerah) menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah anak didik yang bersangkutan. Hal ini dilakukan sampai kelas tiga Sekolah Dasar.
Sebagai konsekuensi pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di lembaga pendidikan tersebut, maka materi pelajaran yang berbentuk media cetak hendaknya juga berbahasa Indonesia. Hal ini dapat dilakukan dengan menerjemahkan buku-buku yang berbahasa asing atau menyusunnya sendiri. Apabila hal ini dilakukan, sangatlah membantu peningkatan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Mungkin pada saat mendatang bahasa Indonesia berkembang sebagai bahasa iptek yang sejajar dengan bahasa Inggris.
Sebagai fungsinya didalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, bahasa Indonesia dipakai dalam hubungan antarbadan pemerintah dan penyebarluasan informasi kepada masyarakat. Sehubungan dengan itu hendaknya diadakan penyeragaman sistem administrasi dan mutu media komunikasi massa. Tujuan penyeragaman dan peningkatan mutu tersebut agar isi atau pesan yang disampaikan dapat dengan cepat dan tepat diterima oleh orang kedua (baca: masyarakat).
Akhirnya, sebagai fungsi pengembangan kebudayaan nasional, ilmu, dan teknologi, bahasa Indonesia terasa sekali manfaatnya. Kebudayaan nasional yang beragam itu, yang berasal dari masyarakat Indonesia yang beragam pula, rasanya tidaklah mungkin dapat disebarluaskan kepada dan dinikmati oleh masyarakat Indonesia dengan bahasa lain selain bahasa Indonesia. Apakah mungkin guru tari Bali mengajarkan menari Bali kepada orang Jawa, Sunda, dan Bugis dengan bahasa Bali? Tidak mungkin! Hal ini juga berlaku dalam penyebarluasan ilmu dan teknologi modern. Agar jangkauan pemakaiannya lebih luas, penyebaran ilmu dan teknologi, baik melalui buku-buku pelajaran, buku-buku popular, majalah-majalah ilmiah maupun media cetak lain, hendaknya menggunakan bahasa Indonesia. Pelaksanaan ini mempunyai hubungan timbal-balik dengan fungsinya sebagai bahasa ilmu yang dirintis lewat lembaga-lembaga pendidikan, khususnya di perguruan tinggi.

D.  Perbedaan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara/Resmi

1.         Perbedaan dari Segi Ujudnya
Apabila kita mendengarkan pidato sambutan Menteri Sosial dalam rangka peringatan Hari Hak-hak Asasi Manusia dan pidato sambutan Menteri Muda Usaha wanita dalam rangka peringatan Hari Ibu, misalnya, tentunya kita tidak menjumpai kalimat-kalimat yang semacam ini.
“Sodara-sodara! Ini hari adalah hari yang bersejarah. Sampeyan tentunya udah tau, bukan? Kalau kagak tau yang kebacut, gitu aja”.
Kalimat yang semacam itu juga tidak pernah kita jumpai pada waktu kita membaca surat-surat dinas, dokumen-dokumen resmi, dan peraturan-peraturan pemerintah.
Di sisi lain, pada waktu kita berkenalan dengan seseorang yang berasal dari daerah atau suku yang berbeda, pernahkah kita memakai kata-kata seperti ‘kepingin’, ‘paling banter’, ‘kesusu’ dan ‘mblayu’? apabila kita menginginkan tercapainya tujuan komunikasi, kita tidak akan menggunakan kata-kata yang tidak akan dimengerti oleh lawan bicara kita sebagaimana contoh diatas. Kita juga tidak akan menggunakan struktur-struktur kalimat yang membuat mereka kurang memahami maksudnya.
Yang menjadi masalah sekarang ialah apakah ada perbedaan ujud antara bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi sebagaimana yang kita dengar dan kita baca pada contoh diatas, dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, sebagaimana yang pernah juga kita lakukan pada saat berkenalan dengan seseorang lain daerah atau lain suku? Perbedaan secara khusus memang ada, misalnya penggunaan kosakata dan istilah. Hal ini disebabkan oleh lapangan pembicaraannya berbeda. Dalam lapangan politik diperlukan kosakata tertentu yang berbeda dengan kosakata yang diperlukan dalam lapangan administrasi. Begitu juga dalam lapangan ekonomi, sosial, dan yang lain-lain. Akan tetapi, secara umum terdapat kesamaan. Semuanya menggunakan bahasa yang berciri baku. Dalam lapangan dan situasi diatas tidak pernah digunakan, misalnya, struktur kata ‘kasih tahu’ (untuk memberitahukan), ‘bikin bersih’ (untuk membersihkan), ‘dia orang’ (untuk mereka), ‘dia punya harga’ (untuk harganya), dan kata ‘situ’ (untuk saudara, anda, dan sebagainya), ‘kenapa’ (untuk mengapa), ‘bilang’ (untuk mengatakan), ‘nggak’ (untuk tidak), ‘gini’ (untuk begini), dan kata-kata lain yang dianggap kurang atau tidak baku.
2.         Perbedaan dari Proses Terbentuknya
Secara implisit, perbedaan dilihat dari proses terbentuknya antara kedua kedudukan bahasa Indonesia, sebagai bahasa negara dan nasional, sebenarnya sudah terlihat didalam uraian pada butir I. B dan I. C. Akan tetapi, untuk mempertajamnya dapat ditelaah hal berikut.
Sudah kita pahami pada uraian terdahulu bahwa latar belakang timbulnya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara jelas-jelas berbeda. Adanya kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional didorong oleh rasa persatuan bangsa Indonesia pada waktu itu. Putra-putri Indonesia sadar bahwa persatuan merupakan sesuatu yang mutlak untuk mewujudkan suatu kekuatan. Semboyan “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” benar-benar diresapi oleh mereka. Mereka juga sadar bahwa untuk mewujudkan persatuan perlu adanya sarana yang menunjangnya. Dari sekian sarana penentu, yang tidak kalah pentingnya adalah sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan pertimbangan kesejarahan dan kondisi bahasa Indonesia yang lingua franca itu, maka ditentukanlah ia sebagai bahasa nasional.
Berbeda halnya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi. Terbentuknya bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dilatarbelakangi oleh kondisi bahasa Indonesia itu sendiri yang secara geografis menyebar pemakaiannya ke hampir seluruh wilayah Indonesia dan dikuasai oleh sebagian besar penduduknya. Di samping itu, pada saat itu bahasa Indonesia telah disepakati oleh pemakainya sebagai bahasa pemersatu bangsa, sehingga pada saat ditentukannya sebagai bahasa negara/resmi, seluruh pemakai bahasa Indonesia yang sekaligus sebagai penduduk Indonesia itu menerimanya dengan suara bulat.
Dengan demikian jelaslah bahwa dualisme kedudukan bahasa Indonesia tersebut dilatarbelakangi oleh proses pembentukan yang berbeda.
3.         Perbedaan dari Segi Fungsinya
Setelah kita menelaah uraian terdahulu, kita mengetahui bahwa fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional berbeda sekali dengan fungsi kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Perbedaan itu terlihat pada wilayah pemakaian dan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi itu. Kapan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara/resmi dipakai, kiranya sudah kita ketahui.
Yang menjadi maslah kita adalah perbedaan sehubungan dengan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi-fungsi itu. Apabila kita menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu, terdapat kaitan apa dengan kita? Kita berperan sebagai apa sehingga kita berkewajiban moral menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tertentu? Jawaban atas pertanyaan itulah yang membedakan tanggung jawab kita terhadap pemakaian fungsi-fungsi bahasa Indonesia baik dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara/resmi.
Kita menggunakan sebagai bahasa negara/resmi dipakai sebagai alat penghubung antarsuku, misalnya, karena kita sebagai bangsa Indonesia yang hidup di wilayah tanah air Indonesia. Sehubungan dengan itu, apabila ada orang yang berbangsa lain yang menetap di wilayah Indonesia dan mahir berbahasa Indonesia, dia tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk menggunakan bahasa Indonesia sebagai fungsi tersebut.
Lain halnya dengan contoh berikut ini. Walupun Ton Sin Hwan keturunan Cina, tetapi karena dia warga negara Indonesia dan secara kebetulan menjabat sebagai Ketua Lembaga Bantuan Hukum, maka pada saat dia memberikan penataran kepada anggotanya berkewajiban moral untuk menggunakan bahasa Indonesia. Tidak perduli apakah dia lancer berbahasa Indonesia atau tidak. Tidak perduli apakah semua pengikutnya keturunan Cina yang berwarga negara Indonesia ataukah tidak.
Jadi seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai penghubung antarsuku, karena dia berbangsa Indonesia yang menetap di wilayah Indonesia; sedangkan seseorang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, karena dia sebagai warga negara Indonesia yang menjalankan tugas-tugas ‘pembangunan’ Indonesia.

A. Fungsi Bahasa
Bahasa Indonesia berfungsi sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, llambang identitas nasional, alat perhubungan antar warga, antardaerah, dan antarbudaya, dan alat yang memungkinkan penyatuan berbagai-bagai suku dan bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia.

1.     Lambang Kebanggaan Kebangsaan.
     Bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita. Atas dasar kebanggaan ini, bahasa Indonesia kita pelihara dan kita kembangkan, dan rasa kebanggaan memakainya senantiasa kita bina.
2.    Lambang Identitas Nasional.
     Bahasa Indonesia kita junjung di samping bendera dan lambang Negara kita. Didalam melaksanakan fungsi ini, bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri sehingga ia serasi dengan lambang kebanggaan kita yang lain. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitas apabila masyarakat sebagai pemakai membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain yang benar-benar tidak diperlukan.
3.    Alat Perhubungan Antarwarga, Antardaerah, dan Antarsuku Bangsa.
     Berkat adanya bahasa nasional, kita dapat berhubungan antarsatu dengan lain sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman akibat perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan. Kita dapat bepergian dari pelosok satu ke pelosok yang lain di tanah air kita dengan hanya memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat komunikasi.
4.    Alat Yang Memungkinkan Terlaksananya Penyatuan Berbagai-bagai Suku Bangsa Yang Memiliki Latar Belakang Sosial Budaya Dan Bahasa Yang Berbeda-beda Kedalam Satu Kesatuan Bangsa Yang Bulat.
Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Lebih dari itu, dengan bahasa nasional itu kita dapat meletakkan kepentingan nasional di atas kepentingan daerah atau golongan.
Di dalam kedudukan sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentigan perencanaan, pelaksanaan pembangunan dan alat kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
a.     Bahasa resmi kenegaraan
      Bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tulisan. Termasuk kegiatan seperti dokumen-dokumen dan keputusan-keputusan serta surat-surat yang yang dikeluarkan oleh pemerintah dan badan-badan kenegerian lainnya, dan pidato-pidato kenegaraan.
b.     Bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan
 Bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sehingga perguruan tinggi di seluruh Indonesia, kecuali di daerah-daerah, seperti daerah Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Makasar yang mengunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa pengantar sampai dengan tahun ketiga pendidikan dasar.
5.         Alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional dan untuk kepentingan pelaksanaan pemerintahan.
     Di dalam hubungan dengan fungsi ini, bahasa Indonesia tidak hanya dipakai sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan tidak hanya sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, melainkan juga sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan bahasanya.
6.         Alat pemgembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
     Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia adalah satu-satunya alat yang memungkinkan kita membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa sehingga ia memiliki ciri-ciri dan identitasnya sendiri, yang membedakannya dari kebudayaan daerah. Pada waktu yang sama, bahasa Indonesia kita pergunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai sosial budaya nasional kita.
     
Dari penjelasan tentang pengertian bahasa tersebut, secara umum bahasa memiliki fungsi personal dan sosial. Fungsi personal mengacu pada peranan bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan setiap diri manusia sebagai makhluk individu. Dengan bahasa, manusia menyatakan keinginan, citi-cita, kesetujuan dan ketidaksetujuan, serta rasa suka dan tidak suka. Adapun fungsi sosial mengacu pada peranan bahasa sebagai alat komunikasi dan berinteraksi antarindividu atau antarkelompok sosal. Dengan mengunakan bahasa mereka saling menyapa, saling mempengaruhi, saling bermusyawarah, dan bekerjasama.
Halliday (1975), dalam Topkins dan Hoskisso, (1995) secara khusus mengidentifikasikan  funsi-fungsi bahasa sebagai berikut:
1.    Fungsi personal, iaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan pendapat. Fikiran, sikap atau perasaan pemakainya.
2.   Fungsi reglator, iaitu penggunaan bahasa untuk mempengaruhi sikap atau pikiran/pendapat orang lain, seperti bujukan, rayuan, permohonan atau perintah.
3.   Fungsi interaksional, yaitu pengunaan bahasa untuk menjalin kontak dan menjaga hubungan sosial, seperti sapaan, basa-basi, simpati, atau penghiburan.
4.   Fungsi informatif, yaitu pengunaan bahasa untuk menyampaikan infomasi, ilmu pengetahuan atau budaya.
5.   Fungsi heuristik, yaitu pengunaan bahasa untuk belajar atau memperoleh informasi, seprti pertanyaan atau permintaan penjelasan atas sesuatu hal.
6.   Fungsi imajinatif, yaitu pengunaan bahasa untuk memenuhi dam menyalurkan rasa estetis (indah), seperti nyanyianda karya sastra.
7.   Fungsi instrumental, yaitu pengunaan bahasa untuk mengungkapkan keinginan atau kebutuhan pemakaiannya, seperti saya ingin….
     Dalam praktiknya, fungsi-fungsi tersebut jarang berdiri sendiri. Antara satu fungsi dengan fungsi yang lain saling terkait dan saling mendukung. Dengan demikian, suatu tindakan berbahasa, dapat mengandung lebih dari satu fungsi.     

B.   Fungsi Komunikatif Bahasa
Istilah fungsi bahasa dapat disinonimkan dengan istilah penggunaan bahasa. Jadi fungsi bahasa dapat diartikan “cara orang menggunakan bahasa, atau bahasa-bahasanya bila mereka berbahasa lebih dari satu”. Fungsi bahasa yang selama ini dikenal pada umumnya merupakan kerangka konsepsional di luar masalah kebahasaan yang dipakai sebagai dasar untuk menafsikan berbagai cara seseorang mengunakan bahasa.
Malinowski, 1923 (dalam Halliday, 1985) menginterpretasikan fungsi bahasa menjadi dua yaitu fungsi pragmatik dan fungsi magis. Fungsi bahsa secara pragmatis meliputi penggunaan bahasa secara aktif dan naratif., sedangkan fungsi bahasa secara magis seperti halnya penggunan bahasa dalam kegiatan yang berkaitan dengan upacaraadat atau upacara keagamaan dalam suatu kebudayaan. Dasar pengklasifikasian hasil interpretasi tersebut ternyata tidak terlepas dari latar belakang keilmuan Malinowski sebagai seorang antropologi. Fungsi aneka bahasa yang dimaksud Malinowski kurang mencerminkan kenyataan pemakaian bahasa dalam berkomunikasi, atau setidak-tidaknya klasifikasi sedemikian terlalu global.
Karl Buhler, 1934 (dalam halliday, 1985) mengklasifikasikan hasil interpretasi fungsi bahasa dari sudut individu menjadi tiga yaitu fungsi ekspresif, fungsi konotatif, dan fungsi representasional. Fungsi ekspresif dikaitkan dengan pembicara, fungsi konotatif dikaitkan dengan mitra bicara, dan fungsi representasional dikaitkan dengan kenyataan lain selain pembicara dan mitra bicara. Interpretasi Buhler ini masih belum memperhatikan konteks di luar partisipan yang terlibat dalam tindak komunikasi.
Roman Jakobson, 1960 (dalam Halliday, 1985) memperluas fungsi bahasa hasil klasifikasi Buhler. Di samping itu, fungsi ekspresif, fungsi konotatif, dan fungsi representasional, Jakobson menambah tiga fungsi lagi yaitu fungsi poetik yang dikaitkan dengan pesan, fungsi transaksional yang dikaitkan dengan sarana, dan fungsi metalinguistik yang dikaitkan dengan kode atau lambang-lambangnya. Klasifikasi fungsi komunikatif bahasa dari Jakobson ini jauh lebih rinci daripada klasifikasi Malinowski maupun Buhler.
James Britton (1970) seorang pendidik dari Inggris mengusulkan agar kerangka fungsi bahasa dari Karl Buhler diubah menjadi tiga yaitu fungsi transaksional, fungsi ekspresif, dan fungsi poetik. Klasifikasi ini didasarakan pada suatu gagasan bahwa perkembangan kemampuan menulis seorang anak pertama-tama berkaitan dengan fungsi ekspresif. Kemamapuan itu kemudian dikembangkan kearah kemampuan traksaksional yang menekan pentingnya interpersonal di satu sisi dan kemampuan poetik yang lebih banyak menekan peran penulis di sisi lain. Klasifikasi ini tidak mencerminkan pemakaian seluruh aspek kemampuan berbahasa, kerna hanya difokuskan kemampuan anak yang sedang belajar menulis.
Desmond Morris (1967) mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi empat yaitu information talking yang berkaitan dengan pertukaran informasi, mood talking yang sama fungsi dari buhler dan Britton, exploratory talking yang berkaitan dengan fungsi estetis (ujaran untuk kepentingan ujaran, dan grooming talking) yang berkaitan dengan sopan santun dalam peristiwa sosial. Pengklasifikasian ini sesungguhnya telah memperhatikan konteks dalam bentuk santin bahasa (grooming talking), sayangnya belum mencakup seluruh aspek tindak komunikasi.
Austin (1969) dan Searle (1969) sebagai filosof mengklasifikasikan fungsi bahasa menjadi lima yaitu:
1.     Fungsi direktif yang berupa pemakaian bahasa dalan bentuk perintah halus (biasanya dalam bentuk Tanya atau pertanyaan).
2.    Fungsi komisif (commissives function) pemakaian bahasa sebagai janji atau penolakan untuk berbuat sesuatu (misalnya, ”Mungkin saya dapat melakukan hal itu besok pagi!”. “Jangan khawatir, saya akan ada di sana!”).
3.    Fungsi representatf yaitu pemakaian bahasa untuk menyatakan kebenaran  (misalnya, ”Sebagian pendapat Darwin itu benar”, “Ada hampir dua puluh penari dalam pertunjukkan itu” dll).
4.   Fungsi deklaratif (istilah Austin:performatif) yaitu pemakaian bahasa yang di dalamnya pertanyaan baru (misalnya, “Saya nyatakan anda sekarang sebagai suami istri”, “Kelas supaya dikosongkan!” dll).
5.   Fungsi ekspresif yaitu pemakaian bahasa berupa ungkapan perasaan (rasa senang atau tidak senang, rasa kecewa, atau puas) secara spontan.
Pengelompokan fungsi-fungsi bahasa tersebut di atas, seperti telah diuraikan sebelumnya, dilakukan berdasarkan konsep di luar kebahasaan. Sebagai akibatnya fungsi-fungsi tersebut kurang mencerminkan variasi fungsional organisasi system makna. Halliday (1985) menyatakan bahwa variasi fungsional bukan sebagai variasi dalam penggunaan bahasa, tetapi sebagai kasanah bahasa yang mendasar, sesuatu yang menjadi dasar bagi perkembangan sistem makna.
Meskipun demikian, Halliday (1973) juga mengklasifikasikan fungsi bahasa berdasarkan konsep diluar kebahasaan seperti pakar yang lain, menjadi tujuh macam yaitu:
1.     Fungsi instrumental yaitu fungsi bahasa yang pergunakan untuk memanipulasi lingkungan sehingga menyebabkan timbulnya suatu keadaan tertentu.
2.    Fungsi regulatory yaitu penggunaan bahasa yang berfungsi untuk mengontrol suatu peristiwa, seperti memberikan persetujuan, penolakan, dll.
3.    Fungsi representasional yaitu penggunaan bahasa yang berfungsi untuk membuat pernyataan, menyajikan fakta, dll.
4.    Fungsi intraksional yaitu penggunaan bahasa yang berfungsi untuk menjaga hubungan agar komunikasi tetap dapat berjalan lancar, memberikan lelucon, idiom-idiom khusu yang biasa dipakai oleh mitra bicara.
5.    Fungsi heuristik yaitu fungsi bahasa yang dipergunakan untuk memperoleh pengetahuan agar dapat mengenal lingkungan, seperti seorang anak kecil yang bertanya-tanya mengenai apa yang dia lihat.
6.    fungsi personal yaitu fungsi bahasa yang berfungsi untuk menyatakan perasaan, emosi, kepribadian, dll.
7.    Fungsi imajinatif yaitu penggunaan bahasa yang berfungsi untuk mencciptakan system atau ide yang bersifat imajinatif.
Klasifkasi fungsi komunikati Halliday ini lebih rinci dan lebih lengkap daripada klasifikasi para pakar bahasa yang lain. Meskipun demikian, sesungguhnya akan lebih sempurna apabila pendapat Halliday dilengkapi dengan fungsi-fungsi yang lebih khusus yang disebut “sub fungsi” (Van Ek, 1976) atau “fungsi mikro” (Guy Cook, 1989).
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, Finocchiaro (1977) juga mengklasifikasikan fungsi bahasa  menjadi lima yaitu:
1.     Fungsi personal yaitu penggunaan bahasa untuk menyatakan pikiran atau perasaan.
2.    Fungsi interpersonal yaitu penggunaan bahasa untuk membina hubungan kerja atau hubungan sosial dengan orang lain (mengungkapkan rasa simpati, mengungkapkan rasa senang atas keberhasilan orang lain, dll).
3.    Fungsi direktif yaitu penggunaan bahasa untuk meminta, memberi saran, membujuk, menyakinka, dll.
4.    Fungsi referensial penggunaan bahasa untuk mengungkapkan lingkungan yang ada disekitarnya. Fungsi referensial ini sama dengan fungsi metalingistiknya Roman Jakobson.
5.    fungsi imajinatif yaitu penggunaan bahasa untuk menyusun irama, sajak, cerita-cerita fisik baik secara lisan, maupun tertulis.
Pengklasifikasian Finocchiaro ini nampaknya diperoleh berdasarkan data bahasa yang terbatas sehingga kategori kategorinya tidak serinci Jakobson ataupun Halliday. Penilaian semacam ini dapat muncul karena hasil klasifikasi ini jauh setelah Jakobson dan halliday. Dengan demikian fikira-fikiran tersebut sudah dapat dipakai sebagai acuan sebelum meneliti.
Guy Cook (1989) mengembangkan klasifikasi fungsi bahasa berbeda dengan pakar-pakar yang lain. Fungsi bahasa diklasifikasikan menjadi dua yaitu fungsi makro dan fingsi mikro. Fungsi makro bahasa diklasifikasikan menjadi tujuh kategori seperti yang dilakukan halliday yaitu:
1.    Fungsi emotif misalnaya ungkapan “Edan!”, “Aduh!”, dll.
2.   Fungsi direktif misalnya “Tolang saya!”, ‘Tembak dia!”.
3.   Fungsi phatik yaitu penggunaan bahasa untuk memulai pembicaraan, misalnya “Dapat mendengarkan saya!”.
4.   Fungsi referensial penggunaan bahasa untuk menyampaikan informasi.
5.   Fungsi metalinguistik yaitu penggunaan bahasa untuk  memfokuskan diri pada kode itu sendiri.
6.   Fungsi poetic yaitu penggunaan bahasa dengan memilih bentuk yang mengandung esensi pesan. Sebagai contoh iklan salah satu perusahaan susu menunjukkan betapa kuatnya pemanfaatan potensi fungsi poetic suatu bahasa: Adi: “A’… Adi juga mau sekolah sih, ma?”
Mama: “Iya, nanti kalau sudah besar!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar