Kamis, 29 Mei 2014

Prevensi Dalam Kesehatan Mental



A.                PENGERTIAN PREVENSI
Prevensi secara etimologi berasal dari bahasa latin praevenire, yang artinya“datang sebelum” atau “antisipasi “mempersiapkan diri sebelum terjadi sesuatu” atau “mencegah untuk tidak terjadi sesuatu”. Dalam pengertian yang sangat luas, prevensi dimaknakan sebagai upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinya gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat.
Prevensi kesehatan mental didasarkan atas cara kerja usaha pencegahan kesehatan masyarakat. Hanya saja, dalam kesehatan masyarakat. Dalam masyarakat, prevensi mengandung arti untuk mengendalikan penyakit. Sementara dalam bidang psikiatri dan kesehatan mental masyarakat, pengendalian penyakit hanyalah salah satu dari berbagai target yang hendak dicapai. Prevensi mencakup pencegahan terhadap kondisi yang lain. Seperti: tidak berfungsinya adaptasi (adaptive dysfunction), penyimpangan sosial (social deviation), dan hendaya dalam perkembangan( developmental impairment) (adler, 1978).

B.                 PRINSIP-PRINSIP PREVENSI
Blomm mengemukakan karakteristik gerakan kesehatan mental masyarakat yang dibedakan dari pendekatan klinis ortodoks sebagai berikut (Goldenberg,1980)
1.      Menekankan pada praktik di masyarakat dibandingkan dengan lembaga khusus seperti rumah sakit jiwa.
2.      Berusaha untuk meningkatkan pelayanan dan program yang diarahkan kepada masyarakat secara keseluruhan dibandingkan terhadap pasien individual.
3.      Pelayanan pencegahan diberikan sebagai prioritas tertinggi dibandingkan dengan usaha terapi.
4.      Petugas memberikan pelayanan tidak langsung seperti konsultasi, pendidikan mental, pelatihan padapembina masyarakat(guru, perawat kesehatan masyarakat, dll) dibandingkan dengan bekerja secara langsung dengan pasien, sekaligus mencakup jumlah populasi yang lebih besar.
5.      Strategi klinis yang inovatif yang dikembangkan agar dapat lebih cepat menemukan kebutuhan kesehatan mental untuk anggota masyarakat yang lebih besar cakupannya dari pada sebelumnya. Misalnya intervensi krisis.
6.      Lebih menggunakan dasar-dasar rasional untuk mengembangkan program spesifik, didasarkan atas analisis demografik masyarakat yang dilayani, menemukan kebutuhan kesehatan mental, identifikasi orang-orang yang berada pada resiko tinggi bagi munculnya gangguan tingkah laku.
7.      Menggunakan tenaga-tenaga baru-semi professional-untuk melengkapi pelayanan yang diberikan oleh psikiater, psikolog klinis, dan perawat psikiatris.
8.      Ada ketertarikan untuk” mengendalikan masyarakat”, dengan membangun masyarakat melalui program-programnya.
9.      Mengidentifikasi sumber-sumber stress dalam masyarakat dan tidak meremehkan terjadinya gangguan yang bersifat individual.
Jika karakteristik gerakan kesehatan mental itu dijadikan acuan untuk membandingkan antara pendekatan prevensi dengan pendekatan prevensi terap konvensional.
C.                TUJUAN DAN SASARAN DALAM PREVENSI
Ada tiga tujuan prevensi, yaitu mencegah jangan sampai terjadi:
1.      Gangguan mental untuk orang yang saat ini dalam keadaan sehat
2.      Kecacatan bagi orang yang mengalami gangguan
3.      Kecacatan menetap bagi orang yang telah mengalami suatu gangguan.
Terdapa tiga macam prevensi, yaitu: prevensi primer, prevensi sekunder, prevensi tersier.
1.      PREVENSI PRIMER
Usaha yang lebih progresif lagi dalam usaha pencegahan kesehatan mental adalah dengan mencegah terjadinya suatu gangguan dalam masyarakat. Jadi kesehatan mental masyarakat diproteksi sehingga tidak terjadi suatu gangguan. Hal demikian ini akan lebih baik jika dibandingkan dengan melakukan penanganan setelah terjadi. Prevensi jenis ini desebut sebagai prevensi primer.
Prevensi primer merupakan aktivitas yang didesain untuk mengurangi insidensi gangguan atau kemugkinan terjadi insiden dalam resiko. Tujuan prevennsi primer ada dua macam:
1)      Mengurangi resiko terjadinya gangguan mental
2)      Menunda atau mneghindari munculnya gangguan mental.
Menurut cowen (shaw,1984) secara prinsipil prevensi primer dibatasi sebagai berikut:
a.       Prevensi harus lebih berorientasi pada kelompok masyarakat daripada secara individual, meskipun untuk beberapa aktivitas dapat merupakan kontak individual
b.      Prevensi harus suatu kualitas dari fakta-fakta sebelumnya, yaitu ditargetkan pada kelompok yang belum mengalami gangguan.
c.       Prevensi primer harus disengaja, yang bersandar pada dasar-dasar pengetahuan yyang mendalam yang termanifestasi ke dalam program-program yang ditentukan untuk meningkatkan kesehatan psikologisnya atau mencegah perilaku maladaptive.
Terdapat dua cara yang digunakan untuk melakukan program prevensi ini, yaitu memodifikasi lingkungan dan memperkuat kapasitas individu atau masyarakat dalam menangani situasi.
2.      PREVENSI SEKUNDER
Gangguan mental yang dialami masyarakat sedapat mungkin secepatnya dicegah, dengan jalan mengurangi durasi suatu gangguan. Jika suatu gangguan misalnya berlangsung dalam durasi satu bulan, maka sebaliknya dicegah dan diupayakan diperpendek durasi gangguan itu. Pencegahan ini disebut dengan prevensi sekunder.
Prevensi sekunder berarti upaya pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi durasi kasus gangguan mental. Gangguan mental yang di alami ini baik karena kegagalan dalam usaha pencegahan primer maupun tanpa adanya usaha pencegahan primer sebelumnya. Sesuai dengan sekunder ini, maka saran pokoknya adalah penduduk atau sekelompok populasi yang sudah menderita suatu gangguan mental.
Dengan memperpendek durasi suatu gangguan mental yang ada di masyarakat, maka dapat membantu mengurangi angka prevalensi gangguan mental dimasyarakat.
Menurut caplan (1963, 1967), terdapat dua kegiatan utama prevensi sekunder, yaitu diagnosis awal dan penanganan secepatnya dan seefektif mungkin.
1)      Diagnosis awal
Diagnosis awal maksudnya pemeriksaan yang dilakukan terhadap penderita gangguan mental, untuk diketahui factor-faktor penyebabnya, dan kemugkinan cara penanganannya. Diagnosis ini dapat dilakukan dengan skrining(pemeriksaan dengan alat-alat tersedia) sebagai bentuk seleksi awal terhadap masyarakat yang diduga mengalami suatu gangguan. Berdasarkan pemeriksaan awal ini, selanjutnya masyarakat yang mengalami gangguan mental dapat direferal kepada pihak-pihak yang kompeten untuk memperoleh penanganan.
2)      Penanganan secepatnya
Penanganan secepatnya dan secara efektif dilakukan oleh pihak yang dipandang mampu menanganinya. Namun demikian, prevensi sekunder tidak selalu dilakukan dengan hospitalsasi, dan menjadi lebih baik jikadilakukan dengan non hospitalisasi.
Penanganan kesehatan mental dengan prevensi sekunder tetap mengeluarkan biaya social dan ekonomi yang juga berat. Sekalipun pencegahan ini diharapkan mampu mengurangi prevalensi gangguan mental, tetapi tidak dapat mengurangi angka insidensi gangguan mental.
3.      PREVENSI TERSIER
Orang yang mengalami gangguan, apalagi gangguan itu sampai pada terganggunya kemampuan fungsional seseorang, maka diperlukan prevensi untuk:
1)      Mempertahankan kemampuan yang masih tersisa
2)      Mencegah agar gangguannya tidak terus berlangsung, dan
3)      Dia segera pulih dan berfungsi sebagaimana mestinya. Prevensi jenis ini yang disebut sebagai prevensi tersier
Sasaran dalam prevensi tersier ini adalah kelompok masyarakat yang mengalami gangguan yang bersifat jangka panjang atau orang yang telah mengalami gangguan mental yang akut dan berakibat penurunan kapasitasnya dalam kaitannya dengan kerja, hubungan social, maupun personalnya.
Prevensi tersier memiliki pengertian yang sama dengan rehabilitasi. Namun penekanan kedua hal ini berbeda. Menurut caplan (1963), rehabilitasi lebih bersifat individual dan mengacu pada pelayanan medis. Sementara prevensi tersier lebih menekankan pada aspek komunitas, sasarannya adalah masyarakat dan mencakup perencanaan masyarakat logistic. Tentunya dalam prevensi tersier merupakan intervensi yang anti-hospitalisasi.

Prevensi tersier ini diberikan pada kepada orang yang sakit dan terjadi penurunan kemampuan ata fungsi social dan personalnya. Adalah terlalu mahal biaya secara ekonomi, social dan personal jika penanganan kesehatan mental dilakukan hanya dengan prevensi tersier ini. adalah lebih efisien jika dilakukan sebelum penderita mengalami penurunan kemampuan itu. Karena itu ada alternative yang lebih baik untuk melakukan pencagahan, yaitu dengan prevensi sekunder.

1 komentar:

  1. Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.

    BalasHapus