Prevensi Dalam Kesehatan Mental
A.
PENGERTIAN
PREVENSI
Prevensi
secara etimologi berasal dari bahasa latin praevenire, yang artinya“datang
sebelum” atau “antisipasi “mempersiapkan diri sebelum terjadi sesuatu” atau
“mencegah untuk tidak terjadi sesuatu”. Dalam pengertian yang sangat luas,
prevensi dimaknakan sebagai upaya yang secara sengaja dilakukan untuk mencegah
terjadinya gangguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat.
Prevensi
kesehatan mental didasarkan atas cara kerja usaha pencegahan kesehatan
masyarakat. Hanya saja, dalam kesehatan masyarakat. Dalam masyarakat, prevensi
mengandung arti untuk mengendalikan penyakit. Sementara dalam bidang psikiatri
dan kesehatan mental masyarakat, pengendalian penyakit hanyalah salah satu dari
berbagai target yang hendak dicapai. Prevensi mencakup pencegahan terhadap
kondisi yang lain. Seperti: tidak berfungsinya adaptasi (adaptive dysfunction),
penyimpangan sosial (social deviation), dan hendaya dalam perkembangan(
developmental impairment) (adler, 1978).
B.
PRINSIP-PRINSIP
PREVENSI
Blomm
mengemukakan karakteristik gerakan kesehatan mental masyarakat yang dibedakan
dari pendekatan klinis ortodoks sebagai berikut (Goldenberg,1980)
1.
Menekankan
pada praktik di masyarakat dibandingkan dengan lembaga khusus seperti rumah
sakit jiwa.
2.
Berusaha
untuk meningkatkan pelayanan dan program yang diarahkan kepada masyarakat
secara keseluruhan dibandingkan terhadap pasien individual.
3.
Pelayanan
pencegahan diberikan sebagai prioritas tertinggi dibandingkan dengan usaha
terapi.
4.
Petugas
memberikan pelayanan tidak langsung seperti konsultasi, pendidikan mental,
pelatihan padapembina masyarakat(guru, perawat kesehatan masyarakat, dll)
dibandingkan dengan bekerja secara langsung dengan pasien, sekaligus mencakup
jumlah populasi yang lebih besar.
5.
Strategi
klinis yang inovatif yang dikembangkan agar dapat lebih cepat menemukan
kebutuhan kesehatan mental untuk anggota masyarakat yang lebih besar cakupannya
dari pada sebelumnya. Misalnya intervensi krisis.
6.
Lebih
menggunakan dasar-dasar rasional untuk mengembangkan program spesifik,
didasarkan atas analisis demografik masyarakat yang dilayani, menemukan
kebutuhan kesehatan mental, identifikasi orang-orang yang berada pada resiko
tinggi bagi munculnya gangguan tingkah laku.
7.
Menggunakan
tenaga-tenaga baru-semi professional-untuk melengkapi pelayanan yang diberikan
oleh psikiater, psikolog klinis, dan perawat psikiatris.
8.
Ada
ketertarikan untuk” mengendalikan masyarakat”, dengan membangun masyarakat
melalui program-programnya.
9.
Mengidentifikasi
sumber-sumber stress dalam masyarakat dan tidak meremehkan terjadinya gangguan
yang bersifat individual.
Jika karakteristik gerakan kesehatan
mental itu dijadikan acuan untuk membandingkan antara pendekatan prevensi
dengan pendekatan prevensi terap konvensional.
C.
TUJUAN
DAN SASARAN DALAM PREVENSI
Ada tiga tujuan prevensi, yaitu
mencegah jangan sampai terjadi:
1.
Gangguan
mental untuk orang yang saat ini dalam keadaan sehat
2.
Kecacatan
bagi orang yang mengalami gangguan
3.
Kecacatan
menetap bagi orang yang telah mengalami suatu gangguan.
Terdapa tiga macam prevensi, yaitu:
prevensi primer, prevensi sekunder, prevensi tersier.
1. PREVENSI PRIMER
Usaha
yang lebih progresif lagi dalam usaha pencegahan kesehatan mental adalah dengan
mencegah terjadinya suatu gangguan dalam masyarakat. Jadi kesehatan mental
masyarakat diproteksi sehingga tidak terjadi suatu gangguan. Hal demikian ini
akan lebih baik jika dibandingkan dengan melakukan penanganan setelah terjadi.
Prevensi jenis ini desebut sebagai prevensi primer.
Prevensi
primer merupakan aktivitas yang didesain untuk mengurangi insidensi gangguan
atau kemugkinan terjadi insiden dalam resiko. Tujuan prevennsi primer ada dua
macam:
1)
Mengurangi
resiko terjadinya gangguan mental
2)
Menunda
atau mneghindari munculnya gangguan mental.
Menurut
cowen (shaw,1984) secara prinsipil prevensi primer dibatasi sebagai berikut:
a.
Prevensi
harus lebih berorientasi pada kelompok masyarakat daripada secara individual,
meskipun untuk beberapa aktivitas dapat merupakan kontak individual
b.
Prevensi
harus suatu kualitas dari fakta-fakta sebelumnya, yaitu ditargetkan pada
kelompok yang belum mengalami gangguan.
c.
Prevensi
primer harus disengaja, yang bersandar pada dasar-dasar pengetahuan yyang
mendalam yang termanifestasi ke dalam program-program yang ditentukan untuk
meningkatkan kesehatan psikologisnya atau mencegah perilaku maladaptive.
Terdapat dua cara yang digunakan untuk melakukan program prevensi
ini, yaitu memodifikasi lingkungan dan memperkuat kapasitas individu atau
masyarakat dalam menangani situasi.
2. PREVENSI SEKUNDER
Gangguan
mental yang dialami masyarakat sedapat mungkin secepatnya dicegah, dengan jalan
mengurangi durasi suatu gangguan. Jika suatu gangguan misalnya berlangsung
dalam durasi satu bulan, maka sebaliknya dicegah dan diupayakan diperpendek
durasi gangguan itu. Pencegahan ini disebut dengan prevensi sekunder.
Prevensi
sekunder berarti upaya pencegahan yang dilakukan untuk mengurangi durasi kasus
gangguan mental. Gangguan mental yang di alami ini baik karena kegagalan dalam
usaha pencegahan primer maupun tanpa adanya usaha pencegahan primer sebelumnya.
Sesuai dengan sekunder ini, maka saran pokoknya adalah penduduk atau sekelompok
populasi yang sudah menderita suatu gangguan mental.
Dengan
memperpendek durasi suatu gangguan mental yang ada di masyarakat, maka dapat
membantu mengurangi angka prevalensi gangguan mental dimasyarakat.
Menurut
caplan (1963, 1967), terdapat dua kegiatan utama prevensi sekunder, yaitu diagnosis
awal dan penanganan secepatnya dan seefektif mungkin.
1)
Diagnosis
awal
Diagnosis awal maksudnya pemeriksaan yang dilakukan terhadap
penderita gangguan mental, untuk diketahui factor-faktor penyebabnya, dan
kemugkinan cara penanganannya. Diagnosis ini dapat dilakukan dengan
skrining(pemeriksaan dengan alat-alat tersedia) sebagai bentuk seleksi awal
terhadap masyarakat yang diduga mengalami suatu gangguan. Berdasarkan
pemeriksaan awal ini, selanjutnya masyarakat yang mengalami gangguan mental
dapat direferal kepada pihak-pihak yang kompeten untuk memperoleh penanganan.
2)
Penanganan
secepatnya
Penanganan secepatnya dan secara efektif dilakukan oleh
pihak yang dipandang mampu menanganinya. Namun demikian, prevensi sekunder
tidak selalu dilakukan dengan hospitalsasi, dan menjadi lebih baik
jikadilakukan dengan non hospitalisasi.
Penanganan
kesehatan mental dengan prevensi sekunder tetap mengeluarkan biaya social dan
ekonomi yang juga berat. Sekalipun pencegahan ini diharapkan mampu mengurangi
prevalensi gangguan mental, tetapi tidak dapat mengurangi angka insidensi
gangguan mental.
3. PREVENSI TERSIER
Orang
yang mengalami gangguan, apalagi gangguan itu sampai pada terganggunya
kemampuan fungsional seseorang, maka diperlukan prevensi untuk:
1)
Mempertahankan
kemampuan yang masih tersisa
2)
Mencegah
agar gangguannya tidak terus berlangsung, dan
3)
Dia
segera pulih dan berfungsi sebagaimana mestinya. Prevensi jenis ini yang disebut
sebagai prevensi tersier
Sasaran
dalam prevensi tersier ini adalah kelompok masyarakat yang mengalami gangguan
yang bersifat jangka panjang atau orang yang telah mengalami gangguan mental
yang akut dan berakibat penurunan kapasitasnya dalam kaitannya dengan kerja,
hubungan social, maupun personalnya.
Prevensi
tersier memiliki pengertian yang sama dengan rehabilitasi. Namun penekanan
kedua hal ini berbeda. Menurut caplan (1963), rehabilitasi lebih bersifat
individual dan mengacu pada pelayanan medis. Sementara prevensi tersier lebih
menekankan pada aspek komunitas, sasarannya adalah masyarakat dan mencakup
perencanaan masyarakat logistic. Tentunya dalam prevensi tersier merupakan
intervensi yang anti-hospitalisasi.
Prevensi
tersier ini diberikan pada kepada orang yang sakit dan terjadi penurunan
kemampuan ata fungsi social dan personalnya. Adalah terlalu mahal biaya secara
ekonomi, social dan personal jika penanganan kesehatan mental dilakukan hanya
dengan prevensi tersier ini. adalah lebih efisien jika dilakukan sebelum
penderita mengalami penurunan kemampuan itu. Karena itu ada alternative yang
lebih baik untuk melakukan pencagahan, yaitu dengan prevensi sekunder.
Mirisnya isu kesehatan mental masih melekat stigma negatif bagi kebanyakan masyarakat Indonesia, jadi bagi yang mengalami penyakit mental merasa minder saat mau menggunakan layanan kesehatan mental. Tapi katanya dengan membaca artikel psikoedukasi secara intensif mampu menurunkan stigma sosial dan pribadi yang disematkan pada pengguna layanan kesehatan mental secara signifikan. Ini penelitiannya.
BalasHapus