Sabtu, 27 April 2013

Perkembangan Bahasa Indonesia


 
A.   Pengertian Bahasa
Bahasa adalah penggunaan kode Bahasa yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yan memiliki arti. Bahasa memiliki berbagai definisi  bahasa sebagai berikut:


1.      Satu sistem untuk mewakili benda tindakan gagasan dan keadaan.
2.     Satu peralatan yang digunakan untuk menyampaikan konsep riil mereka kedalam pikiran orang lain.
3.     Satu kesatuan sistem makna.
4.     Satu kode yang digunakan oleh pakar linguistik untuk membedakan antara bentuk dan makna.
5.     Satu cabang yang menepati tata bahasa yang ditetapkan. Contoh: (perkataan, kalimat, dan lain-lain).
6.     Satu sistem tuntunan yang akan dipahami oleh masyarakat linguistik.

A.   Sejarah Perkembangan Bahasa Indonesia
  Penelusuran perkembangan bahasa Indonesia bisa dimulai dari pengamatan beberapa inskripsi (batu bertulis) atau prasasti yang merupakan bukti sejarah keberadaan bahasa Melayu di kepulauan Nusantara. Prasasti-prasasti itu mengungkapkan sesuatu yang menggunakan bahasa Melayu, atau setidak-tidaknya nenek moyang bahasa Melayu. Nama-nama prasasti adalah:
1.  Kedukan Bukit (683 Masehi),
2.  Talang Tuwo (684 Masehi),
3.  Kota Kapur (686 Masehi),
4.  Karang Brahi (686 Masehi),
5.  Gandasuli (832 Masehi),
6.  Bogor (942 Masehi), dan
7.  Pagaruyung (1356) (Abas, 1987: 24)
 Prasasti-prasasti itu memuat tulisan Melayu Kuno yang bahasanya merupakan campuran antara bahasa Melayu Kuno dan bahasa Sanskerta.
1. Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di tepi Sungai Tatang di Sumatera Sedlatan, yang bertahun 683 Masehi atau 605 Saka ini dianggap prasasti yang paling tua, yang memuat nama Sriwijaya.
2. Prasasti Talang Tuwo, bertahun 684 Masehi atau 606 Saka, menjelaskan tentang konstruksi bangunan Taman Srikestra yang dibangun atas perintas Hyang Sri-Jayanaca sebagai lambang keselamatan raja dan kemakmuran negeri. Prasasti ini juga memuat berbagai mantra suci dan berbagai doa untuk keselamatan raja.
3. Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangsa dan prasasti Karang Brahi di Kambi, keduanya bertahun 686 Masehi atau 608 Saka, isinya hampir sama, yaitu permohonan kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan kerajaan Sriwijaya, agar menghukum para penghianat dan orang-orang yang memberontak kedaulatan raja. Juga berisi permohonan keselamatan bagi mereka yang patuh, taat, dan setia kepada raja Sriwijaya.
Selain berbagai prasasti tersebut, terdapat pula beberapa catatan yang bisa dijadikan sumber informasi tentang asal-usul bahasa Melayu. Sejarah kuno negeri Cina turut membuktikan tentang keberadaan bahasa Melayu tersebut. Pada awal masa penyebaran agama Kristen, pengembara-pengembara Cina yang berkunjung ke Kepulauan Nusantara menjumpai adanya berbagai lingua franca yang mereka namai Kw’en Lun di Asia Tenggara. Salah satu di antara Kw’en Lun itu oleh I Tsing diidentifikasi di dalam Chronicle-nya sebagai bahasa Melayu.Untuk keperluan perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, Traktat London (Perjanjian London) 1824 antara pemerintah Inggris dan Belanda merupakan tonggak sejarah yang sangat penting. Sebab, pada traktat itu antara lain berisi kesepakatan pembagian dua wilayah, yaitu:
a.   Semenanjung Melayu dan Singapura beserta
pulau-pulau kecilnya menjadi kekuasaan kolonial Inggris; dan
b.   Kepulauan Nusantara (Kepulauan Sunda besar:
pulau-pulau Sumatera, Jawa, sebagian Borneo/kalimantan, dan Sulawesi; Kepulauan Sunda kecil: pulau-pulau Bali, LOmbok, Flores, Sumbawa, Sumba, sebagian Timor, dan lain-lain; Kepulauan Maluku dan sebagian Irian) menjadi kekuasaan kolonial Belanda.
“Bahasa mereka, yaitu bahasa Melayu … bukan saja digunakan di pantai-pantai Tanah Melayu, melainkan juga di seluruh India dan di negeri-negeri sebelah timur. Di mana-mana pun bahasa ini dipahami oleh setiap orang. Bahasa ini bagaikan bahasa Perancis atau bahasa Latin di Eropa, atau senacan bahasa perantara di Itali atau di Levent. OLeh karena banyaknya bahasa ini digunakan,maka seseorang yang mampu bertutur dalam bahasaMelatu akan dapat dipahami orang baik dalam negeri Persia maupun Filipina.”
Untuk pembahasan ini kiranya perlu dibedakan dengan jelas antara bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya dan bahasa Melayu dari sub-era Keraan Riau. Seperti disinggung sebelumnya bahwa bahasa Melayu era Kerajaan Sriwijaya sangat dipengaruhi oleh bahasa Sansekerta. Karena sifat kekunoannya itu, banyak ahli bahasa menyebut bahasa pada era Kerajaan Sriwijaya itu sebagai bahasa Melayu Kuno. Sementara itu, bahasa Melatu pada sub-era Kerajaan Riau atau Kerajaan Melayu Riau sama sekali tidak sipengaruhi oleh bahasa Sansekerta dan memiliki ciri khas tersendiri, yaitu Riau. Oleh sebab itu, bahasa ini disebut “bahasa-bahasa Melayu Riau”. Terdapat tiga periode dalam sub-era ini, seperti diuraikan berikut ini.Seperti telah dikatakan sebelumnya, tentara kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Tumasik yang memaksa pusat kekuasaannya dipindahkan ke Malaka di Semenanjung Malaya. Adat-istiadat dan bahasa yang dibawa dari Tmasik dipertahankan, dan mulai saat itu dan seterusnya bahasa Melayu Riau berkembang dan tersebar ke hampir seluruh penjuru Semenanjung Melaya.
Kerajaan Malaka berkibar selama hampir 100 tahun. Lokasinya yang berada di pintu gerbang Selat Malaka, yaitu rute lalu lintas pelayaran yang ramai dan penting yang menghubungkan antara Asia Timur dan Asia Barat, antara Asia Timur dan Eropa, antara Samudra India dan Laut Cina Selatan, dan antara Samudra India dan Samudara Pasifik, Malaka merupakan pelabuhan yang paling sibuk di kawasan Asia Yenggara pada waktu itu.
Pada peralihan abad ke-15, Malaka juga menjadi pusat penyebaran agama Islam. Menjelmanya kota itu menjadi pusat penyebaran agama Islam.Dengan demikian, Malaka menjadi pusat dua kegiatan, yaitu perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam. Sebenarnya, kedua kegiatan ini terlaksana secara bersamaan, sebab para guru dan penganjur agama Islam, dalam melaksanakan misinya itu, mengikuti perjalanan para pelaut dan pedagang, mempergunakan bahasa Melayu.
Pada tahun 1511, misionaris Portugis menyerang dan menaklukkan Malaka yang memaksa dipindahkannya pusat kedua kegiatan tersebut. Pusat perkembangan dan penyebaran bahasa Melayu, dan penyebaran ajaran agama Islam pindah ke Johor. Meskipun Malaka dijadikan oleh Portugis sebagai pusat penyebaran agama Kristen, namun peran sebagai pusat pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu tetap berlangsung. Berkat orang Portugis, penggunaan bahasa Melayu tidak terbatas hanya di kawasan Asia Tenggara saja, melainkan meluas ke pusat-pusat perdagangan di India dan Cina Selatan. Sebagai bukti, Ar-Raniri, seorang pengarang dan teolog Islam yang lahir dan besar di India telah menguasai bahasa Melayu dengan baik ketika ia tiba di Aceh tahun 1637. Hal ini hanya mungkin apabila bahasa Melayu telah banyak dipergunakan di Gujarat pada masa itu (Alisjahbana dalam Fishman, 1974: 394).Bahasa Melayu merambah jalannya juga ke benua Eropa dalam abad ke-16. Karena bahasa Malayulah yang dipergunakan oleh para raja atau pangeran Malayu ketika berkomunikasi dengan raja Portugis. Pada waktu yang sama, St. Francis Xavier mempergunakan bahasa Melayu untuk mengajak penduduk Maluku memeluk agama Kristen. Xavier sendiri mengatakan bahwa bahasa Melayu merupakan bahasa yang dimengerti oleh hampir setiap orang.
Pada tahun 1719 Raja Kecil, dari Istana Kerajaan Johor, dipaksa memindahkan pusat kekuasaannya ke Ulu Riau, di Pulau Bintan, salah satu pulau yang bergabung dalam Kepulauan Riau. Pemindahan ini merupakan permulaan dari suatu periode dalam pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, yaitu periode Kerjaan Riau dan Lingga. Dalamperiode inilah bahasa Melayu memperoleh ciri ke-Riau-annya, dan bahasa Melayu Riau inilah yang merupakan cikal bakal bahasa Nasional Indonesia yang dicetuskan oleh Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.Periode Kerajaan Riau dan Lingga tercatat mulai tahun 1719, ketika didirikan oleh Raja Kecil, sampai dengan tahun 1913, ketika kerajaan itu dihapus oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selama keberadaan kerajaan ini hampir 200 tahun lamanya, ada tiga momentum yang penting sekali bagi perkembangan dan persebaran bahasa Melayu Riau, yaitu tahun 1808, ketika Raja Ali Haji lahir; tahun 1857, ketika Raja Ali Haji menyelesaikan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, suatu tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau; dan tahun 1894, ketika percetakan Mathba’atul Riauwiyah atau Mathba’atul Ahmadiyah didirikan. Pengoperasian percetakan Mathba’atul Riauwiyah ini sangat penting karena melalui buku-buku dan pamflet-pamflet yang diterbitkannya, bahasa Melayu Riau tersebar ke daerah lain di Kepulauan Nusantara. Yang lebih penting adalah usaha pembakuan bahasa Melayu Riau sudah dimulai.Selama perang antara Perancis dan Inggris yang berlangsung di Eropa, yang berakibat Negeri Belanda sempat diduduki Perancis beberapa tahun, selama itu terjadi pula perang antara kekuasaan Inggris di Asia Tenggara dan kekuasaan Belanda yang tunduk kepada Pemerintah Perancis di Kepulauan Nusantara.Dari sudut pengembangan dan penyebaran bahasa Melayu, konflik antara Inggris dan Belanda sangat penting, karena konfrontasi antarakedua kekuasaan itu berakhir pada pembagian kawasan Kepulauan Nusantara menjadi dua, berdasarkan variasi bahasa Melayu yang dipergunakan di kawasan itu, yaitu bahasa Melayu Johor dan bahasa Melayu Riau.Bahasa Melayu Riau yang merupakan bahasa ibu penduduk Kerajaan Riau dan Lingga dan pulau-pulau di sekitarnya, berkembang dan menyebar dengan sangat pesat, sesuai dengan keperluan masyarakat yang bersangkutan sebagai alat komunikasi lisan. Bahkan, sejak berlakuknya Persetujuan London atau TRaktat London, bahasa Melayu Riau mendapatkan status yang baik dalam kesusastraan dunia. Berbagai karya kesusastraan yang cukup tinggi nilainya yang ditulis oleh penutur asli bahasa Melayu Riau diterbitkan. Pada tahun 1857, misalnya, Raja Ali Haji menerbitkan bukunya yang berjudul Bustanul Katibin, sebuah buku tatabahasa normatif bahasa Melayu Riau. Buku tatabahasa ini selama berpuluh-puluh tahun dipergunakan oleh sekolah-sekolah di wilayah Kerajaan Riau dan Lingga, dan di Singapura. Pengarang-pengarang lain yang sezaman dengan Raja Ali Haji, misalnya, Raja Ali Tengku Kelana, Abu Muhammad Adnan, dan lain-lain, juga menerbitkan karya mereka.
Publikasi karya Raja Ali Haji dan pengarang lain dapat dianggap sebagai upaya awal dalam proses pembakuan bahasa Melayu Riau. Bahkan, pada permulaan abad ke-20 karya-karya ini dijadikan buku acuan oleh ahli-ahli bahasa Belanda. Bahasa Melayu Riau yang sedang berkembang pesat dan tumbuh dengan sehat ini oleh banyak ahli bahasa disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.
Bahasa Melayu Riau mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini disebabkan oleh masyarakat pribumi yang bersifat multi-etnik yang mempunyai bahasa daerah sendiri-sendiri. Di samping itu, bahasa Melayu yang sejak dulu menjadi lingua franca meningkat statusnya menjadi bahasa yang memiliki norma supra-etnik dikuasai oleh hampir semua orang yang suka berlayar atau bepergian ke mana-mana.
B.  Beberapa peristiwa penting menyangkut perkembangan
bahasa  Melayu Riau dapat diungkapkan di bawah ini.
1.   Tahun 1865 bahasa Melayu Riau diangkat oleh pemerintah Kolonial
    Hindia Belanda sebagai bahasa resmi kedua mendampingi bahasa
    Belanda. Pranan ke-lingua franca-an bahasa Melayu semakin nyata
    dan penting.
2.    Tahun 1901 Charles van Ophuijsen menerbitkan bukunya
yang berjudul Kitab logat Melajoe: Wondenlijst voor de Spelling der Maleische Taal yang berisi sistem ejaan bahasa Melayu mempergunakan huruf Latin yang bersifat fonemis. Sebelumnya bahasa Melayu Riau mempergunakan huruf Arab (baiasa diistilahkan huruf Jawi) yang bersifat silabik sebagai sistem ejaan. Sistem ejaan van Ophuijsen dengan huruf Latin dianggap lebih sesuai dengan bahasa Melayu.
3.    Tahun 1918 bahasa Melayu mulai dipergunakan di dalam sidang-
sidangVolksraad (Dewan Rakyat). Dengan demikian status bahasa Melayu meningkat menjadi bahasa supraetnik melebihi bahasa-bahasa daerah lainnya.
4.    Tahun 1920 bahasa Melayu menjadi bahasa Balai Pustaka. Semua buku
hasil penerbitan Balai Pusataka mempergunakan bahasa Melayu. Penyebaran bahasa Melayu ke pelosok Nusantara semakin intensif. Semua sekolah dasar di desa-desa mempergunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Di samping itu, bahasa Melayu juga menjadi bahasa para pejuang kemerdekaan Indonesia.
5.    Pada tanggal 28 Oktober 1928 bahasa Melayu dijadikan oleh para
peserta Kongres Pemoeda sebagai bahasa persatuan yang tertuang pada butir ketiga Soempah Pemoeda yang diikrarkannya.
6.    Pada tahun 1933 bahasa Melayu menjadi bahasa Poedjangga
Baroe sekelompok pegarang yang menerbitkan berbagai majalah dan buku.
7.    Pada tahun 1938 Kongres bahasa Melayu (Indonesia) di Solo. Kongres
ini meletakkan dasar-dasar tentang pemakaian istilah bahasa Indonesia dan bukan bahasa Melayu lagi.
8.   Tahun 1942 – 1945 Kepulauan Nusantara diduduki oleh
balatentara Jepang. Bahasa Melayu menjadi satu-satunya bahasa pengantar pada semua jenjang pendidikan.
9.   Pada tanggal 17 Agustus 1945 proklamasi kemerdekaan
Indonesia diumumkan ke seluruh dunia dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pasal … ayat … UUD 1945 memuat bahwa “Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi negara.” Sejak itu bahasa Indonesia      menjadi bahasa Angkatan ‘45.
10.  Tahun 1954 Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini dihadiri
 pula oleh utusan dari Semenanjung Malaya dan Singapura.
    11.  Tahun 1972 antara Republik Indonesia dan Negara Malaysia
tercapai persetujuan di bidang kebudayaan. Masalah bahasa termasuk di dalamnya. Terbentuklah Majelis Bahasa Indonesia dan Malaysia (MABIM).
12.  Pada tanggal 16 Agustus 1972 diumumkan pemberlakuan Ejaan
Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) di Indonesia dan di Malaysia. Kenyataan ini menjadikan bahasa Melayu sebagai norma supra-nasional.
13. Pada tanggal 30 Agustus 1975 diumumkan pula pemberlakukan
tatacara pembentukan istilah di Indonesia dan Malaysia. Hal ini semakin memperkuat MABIM sehingga Nagara Brunai Darussalam dan Republik Singapura tertarik untuk bergabung di dalam majelis bahasa ini.
14. Kongres Bahasa Indonesia III dan seterusnya diselenggarakan secara
teratur setiap lima tahun. Kongres Bahasa Indonesia VI tahun 1993 menghasilkan berbagai keputusan yang memperkuat kedudukan bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa resmi, maupu sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
15. Kerja sama kebahasaan antara Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Negara Malaysia, Negara Brunei Darussalam, dan Republik Singapura semakin kokoh. Keadaan ini akan mengantar bahasa Melayu menjadi bahasa komunikasi luas di kawasan Asia Tenggara untuk selanjutnya diharapkan menjadi salah satu bahasa dunia di dalam abad ke-21.
Pada tahun 1956 terbentuk Negara Persekutuan Tanah Melayu. Peristiwa ini kemudian disusul dengan terbentuknya Negara Malaysia, yang mencakup Serawak dan Sabah (North Borneo), yang merdeka dan berdaulat, lepas dari kekuasaan Inggris. Setelah kemerdekaan dicapai, bahasa Melayu di negara tersebut mulai memerankan fungsinya sebagai bahasa resmi, bahasa negara, bahasa nasional, dan mengalami perkembangan yang cukup pesat.Fenomena ini menunjukkan bahwa sampai saat ini bahasa Melayu, baik yang sekarang menjadi bahasa Indonesia di Indonesia, bahasa Melayu di Malaysia, bahasa … di Brunai, dan bahasa … di Singapura, tetap berkembang dan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi secara efektif. Bahkan, secara de facto telah berperan sebagai bahasa komunikasi luas di Asia Tenggara. Yang diperlukan adalah pengakuan dari internasional (lewat PBB) bahwa bahasa Melayu merupakan salah satu bahasa yang layak dipakai sebagai bahasa komunikasi internasional atau dunia. Apabila harapan ini tercapai, berarti secara de jure bahasa Melayu semakin mantap.
Berdasarkan petunjuk-petunjuk lainnya, dapatlah kita kemukakan bahwa pada zaman sriwijaya bahasa Melayu berfungsi sebagai berikut:
1.  Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa
buku-buku yang berisi aturan-aturan hidup dan sastra.
2.  Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa perhubungan (lingua
franca) antarsuku di Indonesia.
3.  Bahasa Melayu berfungsi sebagai bahasa perdagangan,
terutama disepanjang pantai, baik bagi suku yang ada di Indonesia maupun bagi pedagang-pedagang yang datang dari luar Indonesia.

C.   Peresmian Nama Bahasa Indonesia
 Bahasa Indonesia dengan perlahan-lahan, tetapi pasti, berkembang tumbuh terus. Pada waktu akhir-akhir ini perkembangannya itu menjadi demikian pesatnya sehingga bahasa ini telah menjelma menjadi bahasa modern, yang kaya akan kosakata dan mantap dalam struktur.
Pada tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda kita mengikrarkan Sumpah Pemuda. Naskah Putusan Kongres Pemuda Indonesia Tahun 1928 itu berisi tiga butir kebulatan tekad sebagai berikut.
Pertama     : Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kedua         : Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Ketiga        : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa                 persatuan, bahasa Indonesia.

Pernyataan yang pertama adalah pengakuan bahwa pulau-pulau yang bertebaran dan lautan yang menghubungkan pulau-pulau yang merupakan wilayah Republik Indonesia sekarang adalah satu kesatuan tumpah darah yang disebut Tanah Air Indonesia. Pernyataan yang kedua adalah pengakuan bahwa manusia-manusia yang menempati bumi Indonesia itu juga merupakan satu kesatuan yang disebut bangsa Indonesia. Penyataan yang ketiga tidak merupakan pengakuan “berbahasa satu”, tetapi merupakan pernyataan tekad kebahasaan yang menyatakan bahwa kita, bangsa Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan,yaitu bahasa Indonesia.
     Dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda, resmilah bahasa Melayu,yang sudah dipakai sejak pertengahan Abad VII itu, menjadi bahasa Indonesia.

D.   Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia
       Ejaan bahasa Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Adapun ejaan yang kita gunakan pada saat ini adalah Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Namun sebelum itu telah digunakan beberapa ejaan yang lain.
1.   Ejaan Van Ophuysen
Ejaan ini digunakan sejak tahun 1901 sampai Maret 1947 di Indonesia. Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf latin, ciri-cirinya huruf “I” untuk membedakan antara huruf I sebagai akhiran dan karenanya harus dengan  diftong seperti mulai dengan ramai, juga digunakan untuk huruf  “y” soerabaia. Huruf “j” untuk menuliskan kata-kata jang,pajah,sajang dan sebagainya. Huruf “oe” untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe,oemoer, dan sebagainya.
Tanda diakritik seperti koma,ain,dan tanda , untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dan sebagainya.
2.  Ejaan Republik
Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini dikenal dengan nama Ejaan Soewandi.
 Ciri-ciri:
a. Huruf “oe” diganti dengan “u” pada kata-kata guru,
itu, umur, dan sebagainya.
b. Bunyi hamzah  dan bunyi sentak ditulis dengan “k”
pada kata-kata tak, pak, rakjat, dan sebagainya.
      Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti
       kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an. Awalan di- dan
      kata depan di kedua-duanya ditulis  serangkai
      dengan kata yang mendampinginya.

3.  Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)
Di kenal pada tahun 1959, karena perkembangan politik selama bertahun-tahun berikutnya diurungkanlah peresmian ejaan ini. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1972 oleh presiden Republik Indonesia. Berdasarkan putusan presiden No. 57  tahun 1972.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar